
Bitung – Kantor Pertanahan Kota Bitung kembali menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan rekayasa dalam proses pengukuran ulang tanah yang berujung pada tumpang tindih sertifikat. Sejumlah pihak menilai kekacauan tersebut sebagai bentuk kelalaian administratif yang berpotensi mengarah pada tindak pidana pertanahan.
Aktivis Kota Bitung, Robby Supit, secara terbuka meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk segera mencopot Kepala Kantor Pertanahan Kota Bitung, Budi Tarigan, karena dinilai gagal menjaga integritas pelayanan dan transparansi pertanahan di wilayahnya.
Kasus ini bermula dari laporan Herman Loloh, pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 135 dan 136 yang telah terbit sejak 1982 dan telah dipetakan ulang pada 2021 tanpa konflik. Namun, pada 2024, muncul hasil pengukuran ulang atas SHM No. 157 atas nama Devie Ondang, yang justru menunjukkan adanya tumpang tindih lahan dengan milik Herman.
Padahal, pada 29 Juni 2023, BPN Bitung telah mengeluarkan surat resmi yang menyatakan bahwa SHM No. 135, 136, dan 157 berada di lokasi yang berbeda. Robby menilai adanya dua dokumen resmi dengan informasi yang saling bertentangan ini sebagai bukti kuat cacat administrasi, bahkan berpotensi menjadi alat bantu pembuktian dalam dugaan mafia tanah.
Tak hanya itu, Robby juga mempertanyakan legalitas penerbitan SHM 157 atas nama Devie Ondang karena disebut diterbitkan saat yang bersangkutan masih berusia 13 tahun dan tidak disertai dokumen sah seperti akta jual beli, hibah, atau warisan. “Ini bukan sekadar kesalahan prosedural, tapi berpotensi pidana,” tegasnya.
Saat dikonfirmasi, Kepala Kantor Pertanahan Bitung, Budi Tarigan, menyatakan bahwa seluruh proses telah dilakukan sesuai mekanisme. Ia menjelaskan bahwa SHM No. 157 diajukan pengukuran ulang oleh pemiliknya, dan klaim batas tanah saat itu ternyata berada di atas lokasi SHM 135 dan 136. “Semua dilakukan berdasarkan permohonan dan peta pendaftaran yang ada,” ujar Tarigan.
Meski demikian, pihak pelapor tetap bersikukuh akan menempuh jalur hukum, baik pidana maupun perdata. Mereka juga akan menyurati Kementerian ATR/BPN, serta melibatkan Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk mengusut dugaan penyimpangan dalam penerbitan dan pengukuran ulang sertifikat tersebut.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan pertanahan di Indonesia yang melibatkan konflik antara hak milik lama dan penerbitan baru. Jika terbukti terdapat pelanggaran administratif maupun pidana, pihak terkait dapat dikenakan sanksi sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan ketentuan dalam KUHP Pasal 263 tentang pemalsuan dokumen.
Sumber: https://www.manadonews.co.id/2025/04/15/diduga-rekayasa-pengukuran-tanah-aktivis-minta-kepala-bpn-bitung-dicopot/
