
Bandung – Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini di SDIT Bina Muda, Cicalengka, diliputi nuansa kekhawatiran yang mendalam. Bila pada tahun-tahun sebelumnya pendaftaran siswa berlangsung lancar dan kuota hampir penuh sejak Maret, kini situasinya berbalik. Spanduk penolakan penggusuran dan coretan perlawanan warga menciptakan atmosfer tak menentu di sekitar lingkungan sekolah.
Keresahan para orang tua calon peserta didik menyeruak. “Kalau sekolah ini digusur, anak kami akan belajar di mana?” ujar seorang calon wali murid dengan nada cemas. Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan—penggusuran yang bersumber dari sengketa tanah berdampak langsung pada kelangsungan pendidikan ratusan anak, serta kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
Sejarah Pemanfaatan Tanah dan Awal Mula Sengketa
Lahan yang kini ditempati SDIT Bina Muda telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pendidikan sejak tahun 1978. Penggunaan lahan ini mengalami transformasi dari Sekolah Pendidikan Guru, SMP, SMA, hingga pendirian SDIT Bina Muda pada tahun 2011. Sekolah ini secara resmi mengantongi izin operasional pada tahun 2018 dan saat ini menampung 264 siswa serta didukung oleh 24 tenaga pengajar.
Pihak yayasan menyatakan bahwa lahan tersebut diperoleh secara sah melalui mekanisme jual beli di hadapan aparat Kecamatan Cicalengka, dan telah memiliki Akta Jual Beli (AJB) sebagai bukti kepemilikan. Namun, kepastian hukum atas lahan ini digugat oleh pihak lain yang mengklaim sebagai ahli waris sah.
Dua Putusan Inkrah, Dua Kepemilikan, Satu Objek
Konflik kepemilikan muncul sejak 18 Agustus 2009, ketika keluarga Ny Oce menggugat kepemilikan tanah tersebut ke Pengadilan Negeri Bale Bandung. Gugatan itu awalnya tidak diterima. Namun, pada tahun 2015, keluarga Apud menggugat pihak penjual tanah sebelumnya dan memenangkan perkara tersebut—putusan yang telah inkrah (berkekuatan hukum tetap). Anehnya, pihak keluarga Oce juga memenangkan perkara atas objek tanah yang sama dalam perkara terpisah, yang juga telah inkrah.
Dualisme putusan tersebut menciptakan kekacauan hukum. Di satu sisi, PN Bale Bandung mengeluarkan Penetapan Eksekusi Nomor 29/Pdt.Eks/PUT/2017/PN.Blb pada tahun 2022 yang memenangkan pihak Oce. Di sisi lain, putusan yang berpihak pada keluarga Apud dinyatakan tidak dapat dieksekusi (non-executable), tanpa argumentasi yuridis yang dinilai adil oleh pihak yayasan.
Perbedaan Luas Tanah dan Polemik Dokumen
Persoalan menjadi semakin rumit dengan ditemukannya perbedaan mencolok luas tanah dalam dokumen pertanahan. Menurut dokumen asli yang tersimpan di Desa Panenjoan—hasil pemekaran dari Desa Tenjolaya tahun 2005—luas tanah tercatat hanya 1.300 m². Namun dalam dokumen salinan sejak tahun 1984, luas lahan membengkak menjadi 9.200 m².
Perbedaan ini menjadi dasar gugatan hukum baru oleh warga, termasuk dalam Perkara Nomor 91/Pdt.G/2024/PN Blb jo. Nomor 181/PDT/2025/PT BDG, yang saat ini sedang dalam proses banding. Gugatan itu diarahkan kepada Kepala Desa Tenjolaya dan ahli waris Oce karena pencatatan nama pemilik tanah di buku salinan yang tidak sesuai dengan dokumen induk.
Aris, pengurus Yayasan Sosial Bina Muda yang juga mantan Sekjen PB PII, menyatakan bahwa pihaknya sedang mengupayakan pelaporan dugaan tindak pidana penggunaan dokumen palsu kepada aparat penegak hukum. Hal ini disertai dengan permintaan pembukaan kembali dokumen pertanahan berdasarkan prinsip kehati-hatian hukum dan keadilan substantif.
Perlawanan Hukum Warga: Derden Verzet dan Harapan akan Mediasi
Dalam upaya mempertahankan hak atas tempat tinggal dan fasilitas publik, warga terdampak telah mengajukan perlawanan hukum (derden verzet) terhadap penetapan eksekusi. Gugatan ini tercatat dalam Perkara Nomor 116/Pdt.Plw/2024/PN Blb jo. Nomor 187/PDT/2025/PT BDG dan masih berproses di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Bandung.
Warga dan pihak sekolah juga berharap agar proses hukum tidak mengorbankan hak atas pendidikan yang telah lama dinikmati masyarakat. “Kami bukan hanya membangun sekolah, tapi masa depan anak-anak,” ujar seorang guru yang enggan disebut namanya.
Penundaan Eksekusi dan Mediasi
Penggusuran yang dijadwalkan pada Selasa, 15 April 2025, berhasil ditunda atas desakan warga dan advokasi berbagai pihak. Pemerintah setempat kini tengah mengupayakan mediasi agar tidak terjadi konflik sosial yang lebih besar. Masyarakat berharap penyelesaian hukum yang adil dan komprehensif, dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan dan perlindungan terhadap kepentingan umum.
Sumber: https://bandungbergerak.id/article/detail/1599055/catatan-dari-bandung-timur-84-sengketa-tanah-desa-tenjolaya-menggusur-sdit-bina-muda
