
Potensi konflik agraria di Jawa Tengah kembali menjadi sorotan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa ratusan ribu hektare tanah di wilayah tersebut hingga kini belum memiliki sertifikat kepemilikan yang sah. Situasi ini dinilai sebagai bom waktu yang dapat memicu sengketa tanah di kemudian hari jika tidak segera ditangani secara sistematis dan menyeluruh.
Berdasarkan data terkini dari Kementerian ATR/BPN, dari total sekitar 2,2 juta hektare lahan di Provinsi Jawa Tengah, masih terdapat 19 persen atau sekitar 418 ribu hektare yang belum terdaftar dan belum bersertifikat. Lahan-lahan tersebut terdiri atas tanah milik negara maupun milik perorangan yang masih berbentuk persil atau letter C, serta tanah adat yang hanya berlandaskan surat keterangan dari pemerintah desa.
“Status kepemilikannya itu beragam, ada tanah negara, ada juga tanah masyarakat yang masih dalam bentuk persil-persil, kalau di sini dikenal dengan letter C. Ada pula tanah adat yang belum tercatat secara resmi dan masih mengandalkan surat keterangan desa. Nah, ini yang perlu segera disekularisasi, didorong menjadi tanah yang bersertifikat resmi,” ujar Nusron Wahid dalam pernyataannya di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kamis (17/4).
Ia menegaskan bahwa ketidakjelasan status kepemilikan lahan tersebut membuka ruang yang sangat besar terhadap terjadinya konflik horisontal antarwarga maupun vertikal antara warga dan negara, terutama ketika nilai tanah meningkat atau ketika ada proyek pembangunan masuk ke wilayah yang tidak memiliki kepastian hukum atas hak tanah.
“Ini berpotensi menjadi sumber konflik di kemudian hari jika tidak segera diselesaikan. Kita tidak ingin Jawa Tengah menjadi episentrum konflik agraria baru,” tegas Nusron.
Tak hanya persoalan lahan yang belum bersertifikat, Nusron juga mengungkapkan permasalahan serius terkait 348 ribu hektare tanah di Jawa Tengah yang tergolong dalam kategori KW 456. Tanah-tanah tersebut sudah bersertifikat sejak periode 1960 hingga 1971, namun dokumen peta kadastral yang menjadi lampiran penting dari sertifikat tersebut tidak ditemukan atau belum tersedia.
“Jadi secara administrasi sertifikatnya ada, tetapi peta kadastral atau lampirannya tidak ada. Ini tentu menyulitkan dalam proses pemetaan ulang, dan menjadi potensi konflik juga ke depannya kalau tidak segera diatasi. Solusinya adalah kami dorong para pemegang sertifikat untuk melakukan daftar ulang ke kantor pertanahan masing-masing. Kalau diperlukan, akan dilakukan pengukuran ulang agar posisi dan batas lahan menjadi jelas,” imbuhnya.
Nusron menambahkan, pihaknya juga sedang menertibkan dan mengevaluasi keberadaan lahan-lahan tidak produktif, termasuk tanah-tanah yang sebelumnya berstatus Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang masa berlakunya telah habis, namun belum dimanfaatkan kembali secara optimal.
“Kami sedang melakukan pemetaan bersama dengan pemerintah daerah terhadap tanah-tanah yang tidak produktif tersebut. Prinsipnya, tanah itu harus dimanfaatkan, apalagi jika posisinya strategis. Ini penting untuk mendukung iklim investasi yang sehat, dan memberikan manfaat ekonomi bagi daerah,” pungkasnya.
Langkah percepatan sertifikasi tanah, penertiban dokumen lama, serta optimalisasi pemanfaatan tanah eks-HGU dan HGB diharapkan dapat meminimalisasi potensi konflik, memperkuat kepastian hukum hak atas tanah, dan meningkatkan daya tarik investasi di wilayah Jawa Tengah.
Sumber:
https://kumparan.com/kumparannews/bom-waktu-konflik-tanah-di-jateng-ratusan-ribu-hektare-tanah-tak-bersertifikat-24tYmeF9uA2/full
