Lahan Petani Terdesak oleh Ekspansi Pembangunan Urban

gebukman | 19 April 2025, 09:05 am | 7 views

Gelombang pembangunan infrastruktur yang masif di wilayah perkotaan, yang kerap diklaim sebagai simbol kemajuan dan modernitas, menyimpan sisi gelap yang jarang disorot. Ketimpangan agraria yang semakin melebar dan penggusuran terhadap kelompok masyarakat rentan yang bergantung pada tanah sebagai sumber kehidupan. Di balik kemegahan jalan tol, kawasan industri, dan kompleks real estat, terdapat kisah pilu petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan kelompok marginal lainnya yang kehilangan ruang hidup karena pengabaian terhadap prinsip keadilan agraria.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam gelaran Asia Land Forum (ALF) yang berlangsung pada Februari 2025, kembali menegaskan bahwa orientasi pembangunan di Indonesia masih didasarkan pada pendekatan eksploitatif terhadap sumber daya alam dan tanah, tanpa memperhatikan hak-hak dasar masyarakat lokal. “Ini bukan hanya soal tanah, tetapi soal keadilan, kelangsungan hidup, dan keberanian negara untuk melindungi rakyatnya dari kekuatan modal yang rakus,” ujar Dewi dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com pada Kamis (17/4/2025).

ALF sebagai forum advokasi tahunan yang mempertemukan masyarakat sipil, organisasi akar rumput, akademisi, dan pemangku kepentingan dari berbagai negara Asia, menjadi ruang penting bagi KPA untuk mendorong pemerintah menata ulang sistem agraria nasional. KPA menekankan bahwa pembenahan agraria harus dilakukan dengan pendekatan kerakyatan, partisipatif, dan berbasis hak asasi manusia. Ketimpangan struktur penguasaan tanah, praktik perampasan lahan (land grabbing), serta konflik agraria yang kronis dan sistemik, harus menjadi perhatian utama dalam proses legislasi maupun kebijakan publik.

Kisah Tiomerli Sitinjak: Ketika Tanah Warisan Leluhur Dirusak Atas Nama HGU

Salah satu representasi konkret dari dampak pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan agraria dapat dilihat dalam perjuangan Tiomerli Sitinjak, seorang perempuan petani dari Pematangsiantar, Sumatera Utara. Bagi Tiomerli, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan ruang hidup, simbol keberlanjutan budaya, dan warisan leluhur yang harus dijaga. Sejak kecil, ia hidup dari bertani di atas tanah yang telah dikelola keluarganya secara turun-temurun selama lebih dari dua dekade.

Namun, kisah perjuangan itu mulai terguncang sejak tahun 1969, ketika lahan milik masyarakat dirampas dan dijadikan area perkebunan. Ironisnya, hak guna usaha (HGU) atas lahan tersebut telah berakhir sejak 2004. Masyarakat pun berinisiatif untuk mereklamasi tanah tersebut secara damai, membangun akses jalan, tempat ibadah, dan memulai kembali aktivitas bertani.

Sayangnya, pada tahun 2022, perusahaan perkebunan yang sama kembali memperoleh HGU baru atas tanah yang sama, kali ini tanpa melalui proses konsultasi atau persetujuan masyarakat setempat, yang seharusnya menjadi kewajiban dalam prinsip free, prior and informed consent (FPIC). Dengan dukungan aparat keamanan dan alat berat, perusahaan melancarkan operasi skala besar: lebih dari 700 orang dan 16 ekskavator dikerahkan untuk menggusur tanaman dan merobohkan rumah warga.

Tiomerli dan warga tidak tinggal diam. Dengan keberanian luar biasa, mereka menghadang ekskavator dengan tubuh mereka sendiri, tindakan yang mempertaruhkan keselamatan demi mempertahankan tanah warisan leluhur. Namun perjuangan itu tak selalu berbuah manis. Selama dua setengah tahun terakhir, warga hidup dalam ketidakpastian, diintimidasi, dan kehilangan rasa aman. Bahkan aktivitas bertani di pekarangan rumah pun kerap menjadi sasaran perusakan.

Dampaknya sangat nyata, komunitas petani yang dulunya hidup guyub kini tercerai-berai. Sebagian besar terpaksa beralih menjadi buruh serabutan dengan penghasilan yang tak menentu. Akses terhadap lahan sebagai sumber kehidupan terputus, sementara sistem hukum negara seolah tak memihak pada mereka yang berjuang demi keadilan agraria.

Sumber: https://www.kompas.com/properti/read/2025/04/18/123248121/pembangunan-urban-abaikan-keadilan-agraria-kisah-pilu-petani-tergusur

Berita Terkait