
Penyidik Polda Sulawesi Utara (Sulut) telah mulai memanggil dan memeriksa beberapa saksi terkait kasus dugaan mafia tanah yang melibatkan lahan seluas 4,6 hektar yang dijual ke Sinode GMIM. Lahan tersebut sebelumnya terdaftar atas nama Frits Wewengkang namun dalam prosesnya, muncul keterangan palsu yang dikeluarkan oleh oknum Lurah aktif dan mantan Lurah Malendeng, yakni Anwar Halidu, Erisman Panjaitan, serta Elsye Katuuk. Penyidikan ini berawal dari laporan pidana yang diajukan oleh pengacara Semmy Watti, SH, yang mewakili ahli waris yang dirugikan akibat perubahan data kepemilikan tanah tersebut.
Pemeriksaan Terhadap Lurah Malendeng dan Mantan Lurah
Penyidik Polda Sulut mengonfirmasi bahwa mereka telah memanggil Anwar Halidu, Lurah Malendeng yang masih aktif, beserta dua saksi lainnya, yakni Jefry Kastilong dan Frank Katuuk. Pemeriksaan ini dilaksanakan sebagai respons atas laporan yang menyebutkan adanya pemberian keterangan palsu terkait bukti otentik kepemilikan lahan oleh oknum Lurah dan mantan Lurah. Semmy Watti, SH, selaku pengacara ahli waris, menyampaikan bahwa fokus laporan ini adalah untuk mempidanakan mereka yang terlibat dalam pengubahan dokumen kepemilikan lahan secara ilegal.
Fokus Kasus: Modus Perubahan Dokumen Tanah
Dalam klarifikasinya, Semmy menegaskan bahwa pihaknya berfokus pada pemidanaan terhadap mantan Lurah Malendeng, Erisman Panjaitan, serta Lurah aktif Anwar Halidu, yang terlibat dalam manipulasi dokumen tanah. Modus yang dilakukan adalah mengubah secara sepihak Register 41 atas nama Frits Wewengkang menjadi Agus Katuuk, yang digunakan untuk memfasilitasi penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) kepada Elsye Katuuk. “Perubahan sepihak ini dilakukan tanpa prosedur yang sah dan tanpa sepengetahuan pemilik sah, yakni Frits Wewengkang,” ujar Semmy.
Selain itu, kasus ini juga mencuatkan dugaan kolusi antara oknum Lurah, mantan Lurah, dan pejabat lainnya yang berperan dalam proses perubahan dokumen agraria yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Semmy mengungkapkan bahwa meskipun tanah tersebut telah diblokir pada 2011 dan 2012, pada 2015 dan 2019 tetap diterbitkan SKT atas nama Elsye Katuuk yang dianggapnya sebagai surat palsu.
Sejarah Kepemilikan Tanah yang Disengketakan
Semmy juga mengungkapkan latar belakang sejarah kepemilikan tanah yang kini menjadi sengketa. Tanah tersebut awalnya dimiliki oleh Johakim Bernard Lasut dan kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, termasuk Samuel Bernard Lasut (SBL). SBL kemudian mewariskan tanah tersebut kepada anaknya yang menikah dengan Fritz Wewengkang. Tanah itu tercatat dalam Register 41 atas nama Fritz Wewengkang. Pada tahun 1968, tanah tersebut didaftarkan pada Hukum Tua Paal Dua H. Sambul, sesuai dengan perintah Undang-Undang Pokok Agraria.
Namun, setelah kepemilikan sah atas tanah ini, beberapa pihak diduga terlibat dalam mengubah status kepemilikan tersebut melalui penerbitan dokumen yang tidak sah. Semmy menegaskan bahwa tanah tersebut tidak pernah menjadi milik Agus Katuuk, dan SKT yang diterbitkan atas nama Elsye Katuuk adalah surat palsu yang dikeluarkan oleh Lurah Malendeng saat itu.
Indikasi Mafia Tanah dan Tindakan Selanjutnya
Semmy Watti meyakini bahwa di balik kasus ini terdapat praktik mafia tanah yang melibatkan pihak-pihak tertentu yang berusaha memperoleh keuntungan besar dari pembebasan lahan dan pembangunan gedung Mission Center GMIM yang didirikan di atas tanah tersebut. Ia menyebutkan bahwa meskipun pihak terkait telah mengetahui adanya masalah hukum terkait lahan tersebut sejak 2020, pembangunan tetap dilanjutkan tanpa memperhatikan status sah tanah tersebut.
Dalam upayanya untuk menegakkan hukum, Semmy mengajak masyarakat yang mengalami masalah serupa untuk melaporkan kasusnya dan berani mencari keadilan. Ia menegaskan bahwa dirinya siap memberikan konsultasi hukum secara gratis bagi mereka yang menghadapi kasus serupa. “Kami sudah melaporkan kasus ini secara resmi ke Polda Sulut, dan kami berharap pihak berwenang segera melakukan penyelidikan yang mendalam untuk mengungkap praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat,” tegas Semmy.
Semmy juga berharap agar pihak yang terlibat dalam manipulasi dokumen agraria segera diusut dan diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan penyelidikan ini, diharapkan dapat mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang, serta melindungi hak-hak warga negara atas tanah yang sah.
Sumber foto dan informasi: https://komentar.id/pilihan/polda-sulut-mulai-memburu-mafia-yang-mengubah-register-tanah-untuk-dijual-ke-sinode-gmim/
