Permasalahan Mafia Tanah dengan Alas Hak Eigendom: Ujian bagi Penegak Hukum

gebukman | 12 January 2025, 04:51 am | 35 views

Penulis. Anton Setyo Nugroho, SPi, SH, MP, M.Agr, PhD (Ketua Gerakan Bungkam Mafia Tanah Nasional/GEBUKMANTAN)

Permasalahan mafia tanah di Indonesia terus berkembang menjadi tantangan serius yang merugikan banyak pihak, terutama masyarakat kecil yang hak-haknya atas tanah kerap diabaikan. Salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh mafia tanah adalah manipulasi dokumen hukum, termasuk pemanfaatan alas hak eigendom. Eigendom, sebuah istilah dalam sistem hukum pertanahan warisan kolonial Belanda, merujuk pada hak milik mutlak yang seharusnya sudah tidak berlaku lagi setelah diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Namun, meskipun sistem ini telah digantikan oleh regulasi baru, dokumen eigendom yang tidak diperbarui sering kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan klaim ilegal atas tanah.

Pertanyaannya adalah: beranikah aparat penegak hukum mengambil langkah tegas untuk memberantas mafia tanah yang menggunakan alas hak eigendom sebagai senjata mereka?

Eigendom: Celah Hukum yang Dimanfaatkan Mafia Tanah
Secara legal, dokumen eigendom telah kehilangan keabsahannya setelah UUPA 1960 mulai diberlakukan, yang menggantikan sistem hukum agraria kolonial dengan sistem nasional berbasis sertifikat hak milik (SHM). Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak dokumen eigendom yang tidak diperbarui ke dalam sistem baru tetap digunakan oleh mafia tanah untuk mengklaim hak atas tanah yang sebenarnya telah menjadi milik pihak lain.

Modus yang digunakan cukup beragam, mulai dari pemalsuan dokumen eigendom hingga memanfaatkan dokumen asli yang sudah tidak berlaku untuk kepentingan sepihak. Dalam banyak kasus, mafia tanah bekerja sama dengan oknum di instansi pertanahan, aparat desa, hingga notaris, untuk menghidupkan kembali dokumen yang sudah kadaluwarsa tersebut. Dengan cara ini, mereka tidak hanya mengintimidasi pemilik tanah yang sah tetapi juga memperkuat klaim ilegal mereka di mata hukum.

  1. Tantangan yang Dihadapi Penegak Hukum. Upaya memberantas mafia tanah yang menggunakan alas hak eigendom menghadapi berbagai tantangan signifikan, antara lain:
  2. Kompleksitas Legalitas. Mafia tanah sering kali memanfaatkan jasa profesional hukum atau notaris untuk menyusun argumen legal yang rumit, meskipun didasarkan pada dokumen palsu atau yang tidak berlaku. Proses pembuktian keabsahan dokumen ini sering memakan waktu lama dan melibatkan perdebatan hukum yang kompleks.
  3. Kolusi dan Korupsi. Dalam banyak kasus, mafia tanah tidak bertindak sendiri. Mereka kerap bekerja sama dengan oknum di lembaga pemerintahan, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), pejabat desa, hingga aparat penegak hukum. Kolusi semacam ini memperkuat posisi mafia tanah sekaligus melemahkan proses penegakan hukum.
  4. Keterbatasan Pengetahuan Masyarakat. Sebagian besar masyarakat, terutama di pedesaan, tidak memahami perbedaan antara dokumen eigendom yang sudah tidak berlaku dan sertifikat hak milik (SHM) yang sah. Ketidaktahuan ini membuat mereka menjadi sasaran empuk intimidasi dan penipuan.
  5. Minimnya Infrastruktur Digital. Ketiadaan sistem pengelolaan data pertanahan yang terintegrasi secara digital menjadi hambatan besar dalam melacak keabsahan dokumen tanah. Mafia tanah memanfaatkan kelemahan ini untuk memalsukan dokumen atau menyembunyikan jejak mereka.

Langkah Strategis untuk Memberantas Mafia Tanah
Agar penegak hukum dapat menghadapi mafia tanah dengan lebih efektif, diperlukan langkah-langkah strategis berikut:

  1. Digitalisasi dan Integrasi Data Pertanahan. Pemerintah harus mempercepat digitalisasi arsip pertanahan dan mengintegrasikan data tersebut ke dalam sistem nasional. Dengan teknologi ini, setiap dokumen tanah dapat diverifikasi secara cepat dan akurat, sehingga peluang manipulasi dapat diminimalkan.
  2. Penguatan Regulasi. Perlu ada regulasi yang lebih tegas untuk mengatur penggunaan dokumen tanah warisan kolonial, seperti eigendom. Regulasi ini harus memastikan bahwa dokumen tersebut tidak dapat lagi menjadi dasar klaim kepemilikan.
  3. Penegakan Hukum yang Transparan. Aparat penegak hukum harus berani menindak tegas oknum-oknum yang terlibat dalam praktik mafia tanah, tanpa pandang bulu. Hal ini membutuhkan pengawasan yang ketat serta dukungan politik yang konsisten.
  4. Edukasi Publik. Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai hak-hak mereka atas tanah, termasuk cara mengenali dokumen palsu. Sosialisasi ini sangat penting untuk mencegah munculnya korban baru.
  5. Pembentukan Tim Khusus. Untuk menghadapi mafia tanah yang semakin terorganisir, diperlukan tim khusus, seperti deputi khusus di bawah KPK, yang berfokus pada penanganan kasus pertanahan, termasuk modus penggunaan dokumen kolonial.

Beranikah Penegak Hukum?
Keberanian penegak hukum dalam menghadapi mafia tanah bukan hanya soal penindakan, tetapi juga keberanian untuk melawan tekanan dari pihak-pihak kuat yang terlibat. Dalam hal ini, diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum.

Penanganan kasus mafia tanah tidak hanya penting untuk menyelesaikan sengketa agraria, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Dengan pendekatan yang terintegrasi, teknologi yang mendukung, dan keberanian yang tak tergoyahkan, praktik mafia tanah yang menggunakan alas hak eigendom dapat diberantas.

Saatnya penegak hukum membuktikan bahwa keadilan agraria dapat ditegakkan tanpa pandang bulu.

Sumber Foto: https://megapolitan.kompas.com/image/2020/12/04/07595251/polisi-tangkap-8-mafia-tanah-yang-gelapkan-sertifikat-senilai-rp-6-miliar

Berita Terkait